Selasa, 20 Januari 2015

Sentralitas Kerja (Work Centrality)



                             Pengertian Work Centrality

Menurut Paullay, Alliger, & Stone-Romero (1994) dalam Blakely, Srivastava, Moorman (2005, p103) Work Centrality atau sentralitas kerja adalah tingkat pentingnya pekerjaan dalam kehidupan seseorang. Menurut Diefendorff, Brown, Kamin, and Lord (2002, p96) ditemukan dukungan untuk hubungan langsung antara sentralitas kerja dan OCB. Dalam studi mereka tentang hubungan antara Job Involvement dan OCB, termasuk sentralitas kerja sebagai variabel kontrol.

Menurut Konungo (1982) dalam K Praveen dan Cullen (2003, p137) Work Centrality mengacu pada pentingnya pekerjaan umum dalam kehidupan seorang individu dibandingkan dengan kegiatan lain seperti rekreasi, menghabiskan waktu bersama teman, atau keluarga. Work Centrality yang tinggi berarti bahwa karyawan dapat mengidentifikasi dengan peran pekerjaan seseorang, dan melihat pekerjaan sebagai aspek penting kehidupan  (Diefendorff, Brown, Kamin, & Lord, 2002, p96). Dengan demikian, individu dengan Work Centrality yang tinggi melampirkan lebih penting untuk peran kerja dalam hidup daripada individu yang mendapat skor rendah pada sentralitas kerja. Selanjutnya, secara umum mengakui bahwa Work Centrality adalah sikap relatif stabil terhadap pekerjaan yang tidak sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan kerja tertentu (Hirschfeld & Field (2002).
Work Centrality terutama diturunkan dari nilai-nilai dasar. Menurut Kanungo (1982) dalam Tevruz, Turgut (2004), Work Centrality adalah keyakinan normatif tentang nilai dan pentingnya pekerjaan dalam konfigurasi kehidupan seseorang, dan itu merupakan fungsi dari keadaan masa lalu, budaya seseorang atau sosialisasi. Beberapa peneliti (misalnya Kanungo, 1982) dalam Tevruz, Tugrut (2004) menggunakan istilah Job Involvement (keterlibatan kerja) istilah atau 'keterlibatan dengan pekerjaan' untuk menentukan Work Centrality. Work Centrality adalah tingkat pentingnya pekerjaan pada umumnya daripada keterlibatan dalam pekerjaan ini. Oleh karena itu, Work Centrality berbeda dari konsep-konsep lain seperti, komitmen organisasi dan keterlibatan kerja. Sebuah studi empiris oleh Paullay, dkk. (1994) dalam Tevruz. Tugrut (2004) telah menjelaskan perbedaan antara Work Centrality dan Job Involvement dan telah menunjukkan bahwa kedua konsep ini sebenarnya tampak dua konstruksi yang berbeda. . Dalam studi oleh Paullay dkk, Job Involvement didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang kognitif sibuk dengan, terlibat dalam, dan peduli dengan pekerjaan seseorang, dan Work Centrality didefinisikan sebagai kepercayaan bahwa orang miliki tentang tingkat kepentingan kerja memainkan dalam hidup mereka. Meskipun korelasi, moderat positif ditunjukkan antara instrumen pengukuran Work Centrality dan Job Involvement, analisis faktor konfirmatori memberikan dukungan untuk hipotesis bahwa Job Involvement dan Work Centrality adalah dua konstruksi yang berbeda.

Berdasarkan dari definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa Work Centrality atau sentralitas kerja merupakan sikap dari para karyawan bahwa pekerjaan yang dia libatkan seberapa besar dan pentingnya dalam kepercayaan seseorang terhadap pentingnya pekerjaan tersebut.
                   Dalam studi MOW terdapat 2 Komponen Work Centrality :
·      Orientasi nilai (identifikasi dengan pekerjaan, komitmen untuk bekerja)

·     Orientasi keputusan (Kepentingan hidup, perilaku pengaturan, dan hubungan interpersonal.

Keterlibatan Kerja (Job Involvement)




1. Pengertian Job Involvement
         Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003) mendefinisikan keterlibatan kerja (Job Involvement) sebagai internalisasi nilai-nilai tentang kebaikan pekerjaan atau pentingnya pekerjaan bagi keberhargaan seseorang. Keterlibatan kerja sebagai tingkat sampai sejauh mana performansi kerja seseorang mempengaruhi harga dirinya dan tingkat sampai sejauh mana seseorang secara psikologis mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan dalam gambaran diri totalnya. Individu yang memiliki keterlibatan yang tinggi lebih mengidentifikasikan dirinya pada pekerjaannya dan menganggap pekerjaan sebagai hal yang sangat penting dalam kehidupannya.
       Brown (dalam Muchinsky, 2003) mengatakan bahwa keterlibatan kerja (Job Involvement) merujuk pada tingkat dimana seseorang secara psikologis memihak kepada organisasinya dan pentingnya pekerjaan bagi gambaran dirinya. Ia menegaskan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi dapat terstimulasi oleh pekerjaannya dan tenggelam dalam pekerjaannya.
            Robbins menambahkan bahwa karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan. Seseorang yang memiliki Job Involvement yang tinggi akan melebur dalam pekerjaan yang sedang ia lakukan. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi berhubungan dengan Organizational Citizenship Behavior dan performansi kerja. Sebagai tambahan, tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dapat menurunkan jumlah ketidakhadiran karyawan (Robbins, 2009: 306).
             Hiriyappa (2009) mendefinisikan keterlibatan kerja (Job Involvement) sebagai tingkat sampai sejauh mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaannya, secara aktif berpartisipasi di dalamnya, dan menganggap performansi yang dilakukannya penting untuk keberhargaan dirinya. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi akan menurunkan tingkat ketidakhadiran dan pengunduran diri karyawan dalam suatu organisasi. Sedangkan tingkat keterlibatan kerja yang rendah akan meningkatkan ketidakhadiran dan angka pengunduran diri yang lebih tinggi dalam suatu organisasi.
         Patchen (dalam Srivastava, 2005) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) yang tinggi akan menunjukkan perasaan solidaritas yang tinggi terhadap perusahaan dan mempunyai motivasi kerja internal yang tinggi. Individu akan memiliki keterlibatan kerja yang rendah jika ia memiliki motivasi kerja yang rendah dan merasa menyesal dengan pekerjaannya. Artinya, individu yang memiliki keterlibatan kerja yang rendah adalah individu yang memandang pekerjaan sebagai bagian yang tidak penting dalam hidupnya, memiliki rasa kurang bangga terhadap perusahaan, dan kurang berpartisipasi dan kurang puas dengan pekerjaannya.
          Berdasarkan dari definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa keterlibatan kerja (Job Involvement) merupakan komitmen seorang karyawan terhadap pekerjaannya yang ditandai dengan karyawan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dalam lingkungan kerjanya, serta keterlibatan kerja berhubungan langsung dengan Organizational Citizenship Behavior dalam menentukan kinerja. Dengan adanya perasaan terikat secara psikologis terhadap pekerjaan yang ia lakukan, maka karyawan akan merasa bahwa pekerjaanya sangat penting dalam kehidupan kerja dan mempunyai keyakinan kuat akan kemampuan dalam menyelesaikan masalah.

2. Karakteristik Job Involvement
        Ada beberapa karakteristik dari karyawan yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) yang tinggi dan yang rendah (Cohen, 2003), antara lain:
a.    Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi:
  • ·         Menghabiskan waktu untuk bekerja
  • ·         Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dan perusahaan
  • ·         Puas dengan pekerjaannya
  • ·         Memiliki komitmen yang tinggi terhadap karier, profesi, dan organisasi
  • ·         Memberikan usaha-usaha yang terbaik untuk perusahaan
  • ·         Tingkat absen dan intensi turnover rendah
  • ·         Memiliki motivasi yang tinggi
  •  

b.    Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang rendah:
  • ·         Tidak mau berusaha keras untuk kemajuan perusahaan
  • ·         Tidak peduli dengan pekerjaan maupun perusahaan
  • ·         Tidak puas dengan pekerjaan
  • ·         Tidak memiliki komitmen terhadap pekerjaan maupun perusahaan
  • ·         Tingkat absen dan intensi turnover tinggi
  • ·         Memiliki motivasi kerja yang rendah
  • ·         Tingkat pengunduran diri yang tinggi
  • ·         Merasa kurang bangga dengan pekerjaan dan perusahaan
  •  


3. Dimensi Job Involvement
        Menurut Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003), Job Involvement memiliki dua dimensi, yaitu:

a. Performance self-esteem contingency
      Keterlibatan kerja merefleksikan tingkat dimana rasa harga diri seseorang dipengaruhi oleh performansi kerjanya. Aspek ini mencakup tentang seberapa jauh hasil kerja seorang karyawan (performance) dapat mempengaruhi harga dirinya (self-esteem). Harga diri didefinisikan sebagai suatu indikasi dari tingkat dimana individu mempercayai dirinya mampu, cukup, dan berharga (Harris & Hartman, 2002).

b. Pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total individu
         Dimensi ini merujuk pada tingkat sejauh mana seseorang mengidentifikasikan dirinya secara psikologis pada pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri totalnya. (Dubin (dalam Cohen, 2003) mengatakan bahwa orang yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) adalah orang yang menganggap pekerjaan sebagai bagian yang paling penting dalam hidupnya. Ini berarti bahwa dengan bekerja, ia dapat mengekspresikan diri dan menganggap bahwa pekerjaan merupakan aktivitas yang menjadi pusat kehidupannya. Karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan (Robbins, 2009:303).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Job Involvement
           Keterlibatan kerja (Job Involvement) dapat dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu variabel personal dan variabel situasional.

a. Variabel personal
           Variabel personal yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja meliputi variabel demografi dan psikologis. Variabel demografi mencakup usia, pendidikan, jenis kelamin, status pernikahan, jabatan, dan senioritas.
          Moynihan dan Pandey (2007) juga menemukan bahwa usia memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan keterlibatan kerja, dimana karyawan yang usianya lebih tua cenderung lebih puas dan terlibat dengan pekerjaan mereka, sedangkan karyawan yang usianya lebih muda kurang tertarik dan puas dengan pekerjaan mereka. Hickling (2001) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk mengukur pengaruh variabel demografi dan status karyawan (part-time atau full-time) menemukan bahwa variabel demografi dan status karyawan memiliki hubungan dengan keterlibatan kerja. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa karyawan  full-time dan part-time berbeda dalam karakteristik demografi, dimana wanita memiliki tingkat absen yang lebih tinggi daripada pria, yang mengindikasikan bahwa wanita memiliki keterlibatan kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. ia juga menemukan bahwa karyawan yang bekerja full-time lebih terlibat dalam pekerjaannya dibandingkan dengan karyawan yang bekerja part-time. Westhuizen (2008) dalam penelitiannya menambahkan bahwa variabel-variabel demografi lainnya seperti gaji memiliki hubungan dengan keterlibatan kerja (Job Involvement).
          Sedangkan variabel psikologis mencakup intrinsic/extrinsic need strength, nilai-nilai kerja, locus of control, kepuasan terhadap karakteristik/hasil kerja, usaha kerja, performansi kerja, absensi, dan intensi turnover.
            Bazionelos (2004) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara trait kepribadian dengan keterlibatan kerja pada manajer menemukan bahwa ada hubungan antara trait kepribadian dengan keterlibatan kerja ditinjau dari teori 5 Faktor, dimana tipe kepribadian extraversion, openness, agreeableness berhubungan dengan keterlibatan kerja. Ia menemukan bahwa manajer yang memiliki karakteristik aggreableness yang rendah menunjukkan keterlibatan kerja yang tinggi. Selain itu, ia juga menemukan bahwa ada hubungan yang negatif antara extraversion dan openness dengan keterlibatan kerja.

b. Variabel situasional
        Variabel situasional yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja mencakup pekerjaan, organisasi, dan lingkungan sosial budaya. Variabel pekerjaan mencakup karakteristik/hasil kerja, variasi, otonomi, identitas tugas, feedback, level pekerjaan (status formal dalam organisasi), level gaji, kondisi pekerjaan (work condition), job security, supervisi, dan iklim interpersonal. Mehta (dalam Srivastava, 2005) mengatakan bahwa faktor-faktor seperti otonomi, hubungan pertemanan, perilaku pengawas, kepercayaan, dan dukungan menuntun pada keterlibatan kerja yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas.
              Irawan (2010) dalam penelitiannya tentang hubungan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan kerja juga menemukan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan kerja. Artinya, apabila persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan demokratis positif, maka keterlibatan kerja karyawan tinggi.
Variabel organisasi mencakup iklim organisasi (partisipatif/mekanistik), ukuran organisasi (besar/kecil), struktur organisasi (tall/flat), dan sistem kontrol organisasi (jelas/tidak jelas). Karia dan Asaari (2003) mengatakan bahwa praktek continuous improvement dan pencegahan terhadap masalah secara signifikan berkorelasi positif dengan keterlibatan kerja, kepuasan kerja, kepuasan karier, dan komitmen organisasi.
         Hao, Jung, dan Yenhui (2009) dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor penting dari keterlibatan kerja (Job Involvement) personil layanan finansial menemukan bahwa dukungan sosial dan hubungan teman sebaya memiliki hubungan langsung yang signifikan dengan keterlibatan kerja. Mishra dan Shyam (2005) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara tipe-tipe dukungan sosial dengan keterlibatan kerja pada sipir penjara juga menemukan bahwa ketiga tipe dukungan sosial yang diukur (appraisal, tangible, dan belonging support) berhubungan positif dengan keterlibatan kerja. Variabel lingkungan sosial budaya mencakup ukuran komunitas, rural/urban, budaya etnis, dan agama.
             Kaur dan Chadha (dalam Srivastava, 2005) menemukan bahwa bagi pekerja white-collar, stres yang tinggi menuntun pada keterlibatan kerja yang rendah, sedangkan bagi pekerja blue-collar, stres yang tinggi menuntun pada keterlibatan kerja yang tinggi.


          Ada beberapa penelitian lainnya yang dilakukan mengenai keterlibatan kerja (Job Involvement). Penelitian mengenai kepuasan kerja dan keterlibatan kerja menunjukkan hubungan positif antara keduanya. Makvana (2008) menemukan bahwa karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan kerja yang tinggi menunjukkan tingkat kepuasan kerja yang tinggi. Brown (dalam Mantler & Murphy, 2005) juga menambahkan bahwa orang-orang dengan keterlibatan kerja yang tinggi cenderung puas dengan pekerjaannya dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap karier, profesi, dan organisasi mereka.

Kamis, 23 Oktober 2014

Tentang Manajemen Perubahan








4 faktor utama yang mempengaruhi perubahan organisasi yang dikenal dengan PEST factors

PEST terdiri dari Politik, Ekonomi, Sosial – Budaya, dan Teknologi. Masing-masing sub faktor dari ke-empat faktor tersebut adalah,
a)       Politik: Legislasi pemerintah, Ideologi pemerintah, Hukum internasional, Hak secara          universal,Perang, Peraturan daerah, Sistem perpajakan, Kegiatan serikat.

b)      Ekonomi: Pesaing, Pemasok, Nilai tukar mata uang, Tingkat upah, Kebijakan ekonomi pemerintah, Kebijakan ekonomi negara lain, Kebijakan pinjaman dari lembaga keuangan, Perubahan dari masyarakat terhadap kepemilikan pribadi.

c)      Sosial – Budaya: Demografi, Perubahan gaya hidup, Ketersediaan keterampilan (skill), Sikap terhadap pekerjaan, Sikap terhadap kelompok minoritas, Masalah perbedaan jenis kelamin (gender), Kemauan dan kemampuan untuk bergerak, Kepedulian terhadap lingkungan, Etika bisnis.

d)     Teknologi: Teknologi informasi, Proses produksi yang baru, Proses secara komputerisasi,Perubahan dalam teknologi transportasi.
 


3 tipe perubahan menurut Grundy

a)      Smooth Incremental Change: Perubahan terjadi secara lambat, sistematis, dan dapat diprediksikan.
b)      Bumpy Incremental Change: Perubahan ini mencakup perubahan lingkungan organisasi, bersumber dari perubahan internal, misalnya tuntutan perbaikan metode kerja.
c)      Discontinuous Change: Perubahan yang ditandai pergeseran cepat atas strategi, struktur atau budaya.

5 tahap dalam Daur hidup organisasi/The Organizational Life Cycle


a)    Fase 1 : Kreativitas.
Kreativitas dari para pendiri organisasi merupakan tahap awal dari evolusi suatu organisasi. Desain organisasi pada tahap ini masih merupakan struktur sederhana dan pengambilan keputusan dikontrol oleh manajer – pemilik atau top manajemen. Komunikasi antar tingkatan di dalam organisasi berlangsung intensif dan informal. Krisis yang muncul pada tahap awal pertumbuhan organisasi adalah krisis kepemimpinan, karena manajer sulit untuk mengelola organisasi hanya dengan mengandalkan pada komunikasi informal. Jadi diperlukan manajemen professional yang dapat memperkenalkan dan mengimplementasikan manajemen dan teknik organisasi yang makin kompleks.

b)   Fase 2 : Pengarahan.
Pada tahap pengarahan desain organisasi makin birokratis, komunikasi antar tingkatan menjadi formal dan spesialisasi pekerjaan mulai diterapkan, seperti aktivitas produksi dan pemasaran. Pengambilan keputusan pada tahap ini bermuara pada manajemen baru dan manajer tingkat bawah tidak diikut sertakan. Krisis yang muncul pada tahap ini adalah krisis otonomi dimana manajer tingkat bawah akan mencari pengaruh yang lebih besar di dalam pengambilan keputusan. Pada prinsipnya solusi dari krisis otonomi tersebut adalah pendesentralisasian pengambilan keputusan.

c)    Fase 3 : Pendelegasian.
Pada tahap pendelegasian manajer tingkat bawah mempunyai otonomi yang lebih besar dalam menjalankan aktivitas unit kerjanya, sedangkan top manajemen lebih berkonsentrasi pada perencanaan strategis jangka panjang.
Krisis yang muncul pada tahap ini adalah krisis control, karena manajer tingkat bawah merasa nyaman dengan otonomi yang diberikan, sedangkan top manajemen merasa takut organisasi akan dibawa ke berbagai arah. Oleh karena itu diperlukan suatu cara dalam mengelola jalannya roda organisasi.

d)   Fase 4 : Koordinasi.
Tahap ini muncul sebagai akibat dari krisis control pada tahap pendelegasian. Koordinasi sangat diperlukan oleh manajer lini dari unit – unit staf dan kelompok – kolompok produk dalam menjalankan fungsinya. Krisis yang muncul pada tahap ini adalah krisis birokrasi, karena adannya koordinasi juga akan menimbulkan konflik garis – staf yang menyita banyak waktu dan energy.

e)    Fase 5 : Kerjasama.
Untuk menghindari krisis birokrasi pada tahap koordinasi adalah dengan kerjasama yang kuat antar individu di dalam organisasi. Budaya organisasi menjadi substitusi bagi control formal manajemen organisasi. Struktur organisasi bergerak ke arah bentuk organik.


Apa yang dimaksud dengan struktur organisasi?

Struktur organisasi merupakan penggambaran bagaimana cara organisasi dikonfigurasikan ke dalam kelompok kerja dan hubungan mengenai tanggung jawab dan wewenang serta laporan masing-masing individu dan kelompok dalam upaya untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi.

Menurut Robbins (1996) à Bagaimana tugas-tugas dibagikan, dikelompokan, dan dikoordinasikan secara resmi.

Menurut Wilson dan Rosenfeld (1990) à Merupakan pola antara bagian komponen-komponen organisasi yang menjelaskan mengenai komunikasi, kontrol, maupun otoritas.

Elemen Struktur Organisasi

Ada enam elemen kunci yang perlu diperhatikan ketika hendak mendesain struktur,antara lain:
a)    Spesialisasi pekerjaan. Sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi dibagi-bagi ke dalam beberapa pekerjaan tersendiri.
b)   Departementalisasi. Dasar yang dipakai untuk mengelompokkan pekerjaan secara bersama-sama. Departementalisasi dapat berupa proses,produk,geografi, dan pelanggan.
c)    Rantai komando. Garis wewenang yang tanpa putus yang membentang dari puncak organisasi ke eselon paling bawah dan menjelaskan siapa bertanggung jawab kepada siapa.
d)   Rentang kendali. Jumlah bawahan yang dapat diarahkan oleh seorang manajer secara efisien dan efektif.
e)    Sentralisasi dan Desentralisasi. Sentralisasi mengacu pada sejauh mana tingkat pengambilan keputusan terkonsentrasi pada satu titik di dalam organisasi. Desentralisasi adalah lawan dari sentralisasi.
f)    Formalisasi. Sejauh mana pekerjaan-pekerjaan di dalam organisasi dibakukan.


6 dimensi utama dalam struktur organisasi
a)    Specialization: Merupakan pembagian kerja dan alokasi tugas di antara posisi yang berbeda.
b)   Standardization: Prosedur standar untuk mengatasi kejadian-kejadian yang ada yang merupakan aspek dasar struktur organisasi.
c)    Formalization: Menunjukkan sejauh mana peraturan, prosedur, instruksi dan komunikasi yang diorganisasikan dalam bentuk dokumen tertulis.
d)   Centralization: Fokus pada kewenangan yang ada untuk mengambil keputusan dalam organisasi.
e)    Configuration: Merupakan bentuk struktur dimana berbentuk rantai komando yang pendek ataupun panjang. Hal ini ditunjukkan dalam bagan organisasi.
f)    Traditionalism: Merupakan sejauh mana organisasi distandarisasikan berdasarkan kebiasaan atau peraturan yang ada.

Organizational culture
Budaya organisasi adalah  sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi-organisasi lainnya.

Karakteristiknya Budaya Organisasi:
a)    Inovasi dan keberanian mengambil resiko yaitu sejauh mana karyawan diharapkan didorong untuk bersikap inovtif dan berani mengambil resiko.
b)   Perhatian terhadap detail yaitu sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal detil.
c)    Berorientasi pada hasil yaitu sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang teknik atau proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
d)   Berorientasi kepada manusia yaitu sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada di dalam organisasi.
e)    Berorientasi pada tim yaitu sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi pada tim ketimbang individu-individu.
f)    Agresivitas yaitu sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai.
g)   Stabilitas yaitu sejauh mana organisasi menekankan pertahanan pada budaya organisasi yang sudah baik.

Organisasi formal dan organisasi informal.
a)    Organisasi formal adalah kumpulan dari dua orang atau lebih yang mengikatkan diri dengan suatu tujuan bersama secara sadar serta dengan hubungan kerja yang rasional. Organisasi formal memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
·      Terstruktur
·      Kaku
·      Terumuskan
·      Tahan lama

Unsur-unsur organisasi formal: Goals, strategy, structure, systems and procedures, product and services, financial resources, management.
Sebuah organisasi formal memiliki strukstur yang terumuskan dengan baik. Struktur ini menerangkan hubungan-hubungan otoritasnya, kekuasaan, akuntabilitas, dan tanggung jawabnya. Struktur yang ada juga menerangkan bagaimana bentuk saluran-saluran, dan melalui apa komunikasi berlangsung.

Contoh organisasi formal adalah : Perusahaan, Badan Pemerintah, Sekolah, Negara

b)   Organisasi Informal kumpulan dari dua orang atau lebih yang telibat pada suatu aktifitas serta tujuan bersama yang tidak disadari. Organisasi Informal memiliki ciri-ciri :
· Lepas
· Fleksibel
· Tidak terumuskan
· Spontan
Unsur unsure organisasi informal: values, attitude and beliefs, leadership style and behavior, power, politics and conflicts, informal groupings.

Keanggotaan pada organisasi-organisasi informal dapat dicapai baik secara sadar, maupun tidak sadar. Kerapkali sulit untuk menentukan waktu eksak seseorang menjadi anggota organisasi tersebut. Sifat eksak hubungan-hubungan antara para anggota, bahkan tujuan-tujuan organisasi yang bersangkutan tidak terspesifikasi.

Contoh Organisasi Informal : Arisan ibu-ibu, Orang-orang di kendaraan umum, sekumpulan penonton yang menyaksikan sepak bola.

5 Tipe budaya organisasi

Menurut Charles Handy:
a)    The Power Culture (budaya berbasis kekuasaan):
Pola pekerjaan di perusahaan / organisasi didonimasi oleh seseorang atau kelompok tertentu. Hal paling mudah bisa kita lihat pada perusahaan keluarga dimana pemilik biasanya mendominasi secara penuh semua pengambilan keputusan dan sekaligus dalam hal penetapan kebijakan serta peraturan perusahaan.
b)   The role culture (budaya berbasis peran):
Lebih menekankan kepada pendelegasian tugas dan tanggung-jawab ke beberapa bagian sehingga tidak semua urusan terpusat pada seseorang atau kelompok orang tertentu.
c)    The task culture (budaya berbasis tugas / pekerjaan)
Terfokus kepada ‘getting things done‘ artinya yang penting pekerjaan dikerjakan, tidak peduli oleh siapa. Contoh organisasi berbasis jaringan/network orgz.
d)   The person culture
Masing-masing orang memiliki budaya sendiri tergantung latar belakang dan pendidikan. Individual culture tak bisa disepelekan begitu saja karena penting dalam membangun kinerja organisasi.

Salah satu model perubahan adalah “planned change” yang dikenalkan oleh Kurt Lewin yang dikenal dengan Lewin’s planned change model.

a)    Unfreezing: Agen perubahan (change agent) berupaya mengurangi kekuatan dalam mempertahankan status quo. Unfreezing diperlukan untuk membuat orang percaya bahwa perubahan perlu dilakukan. Hal yang harus dilakukan change agent antara lain mengumpulkan data, mendiagnosis masalah dengan akurat, dan membuat orang lain sadar akan pentingnya perubahan.

b)   Moving atau changing: Dalam tahap ini change agent mengidentifikasi, merencanakan, dan mengimplemetasikan strategi yang tepat untuk melakukan perubahan tersebut. Agar lebih efektif, perubahan dilaksanakan secara bertahap karena perubahan merupakan proses yang kompleks. Pada tahap ini yang dapat dilakukan adalah mengembangkan rencana, mengidentifikasi hal-hal yang mendukung dan menghambat, mengembangkan strategi yang tepat, mengimplementasikan perubahan, dan mengevaluasi perubahan.

c)    Refreezing: Change agent berupaya untuk menstabilkan perubahan sehingga dapat terintegrasi ke dalam sistem. Agar refreezing terjadi, change agent harus mendukung dan memperkuat upaya adaptif dari mereka yang terkena dampak perubahan. Perubahan rata-rata membutuhkan 3 sampai 6 bulan hingga masuk ke dalam sistem. Pada tahap ini, tanggung jawab change agent adalah berupaya menciptakan suasana saling mendukung agar perubahan dapat terjadi.

Dibutuhkan 5 tahap aktivitas dalam menejemen agar perubahan dapat berjalan efektif.
a)    Motivating change
Yaitu menciptakan kesiapan untuk perubahan dengan cara menekankan perubahan tersebut kepada organisasi, mengungkapkan perbedaan antara kondisi saat ini dan yang diinginkan, serta menyampaikan harapan positif jika perubahan dilakukan.
b)   Creating a vision
Menjelaskan ideologi utama perusahaan dengan menggambarkan nilai inti organisasi dan tujuannya.
c)    Developing political support
Dengan menilai sejauh mana kekuatan agen perubahan, mengidentifikasi stakeholder utama, dan berupaya untuk mempengaruhi stakeholder.
d)   Managing the transition
Dengan merencanakan kegiatan yang akan dilakukan selama perubahan, menekankan komitmen pada perencanaan yang dibuat, serta mengubah struktru manajemen perusahaan.
e)    Sustaining momentum
Dengan menyediakan sumber daya untuk perubahan, membangun sistem pendukung untuk agen perubahan, mengembangkan kompetensi dan keterampilan baru, memperkuat perilaku atau budaya yang baru dibentuk, serta tetap belajar untuk menstabilkan perubahan.

Dalam proses perubahan dalam suatu organisasi tentunya ada perlawanan/resistensi dari pihak pihak yang merasa terganggu. 3 strategi dalam mengurangi resistensi ini
a)    Empathy and support
b)   Communication
c)    Participation and involvement

4 faktor yang mempengaruhi  pilihan terhadap desain struktur organisasi
a)    Organization size (Ukuran organisasi)
Organisasi dengan ukuran yang berbeda membutuhkan struktur organisasi yang berbeda juga. Ketika sebuah bisnis kecil berkembang menjadi sebuah perusahaan besar, maka dibutuhkan perubahan organisasi yang menjamin agar komunikasi dan manajemen tetap berjalan lancar di dalam perusahaan. Organisasi dengan ukuran yang lebih kecil cenderung untuk bergantung pada teknologi-komunikasi untuk kebanyakan interaksi mereka pada umumnya. Sedangkan organisasi besar menggunakan teknologi-komunikasi untuk susunan birokrasi hierarkinya. Organisasi kecil cenderung menggunakan system struktur organisasi yang sederhana, sedangkan organisasi besar cenderung menggunakan hierarki birokrasi yang bertingkat.

b)   Technology (Teknologi)
Teknologi perusahaan membantu aliran kerja dalam desain dengan memfasilitasi komunikasi dan prosedur kerja. Dengan industri yang berbeda, maka dibutuhkan juga teknologi yang berbeda juga.

c)    Enviromnment (Lingkungan)
Lingkungan memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi fungsi bisnis dan mempengaruhi banyak elemen dalam desain struktur organisasi.

d)   Organization strategy
Desain struktur organisasi memperpanjang jangkauannya keluar organisasi untuk meraih jaringan di luar untuk bisnis pendukung dan sekutu perusahaan. Perusahaan yang bekerja sama dengan jaringan di luarnya cenderung untuk menjadi lebih kuat karena banyaknya pendukung disana

Dalam “restructuring organizations” dikenal “downsizing”. apa dampaknya terhadap perusahaan?

Downsizing atau perampingan merupakan perubahan pada struktur organisasi yang bertujuan untuk mengurangi ukuran organisasi. Biasanya dilakukan dengan mengurangi jumlah karyawan melalui PHK, mutasi karyawan, atau pensiun dini dengan mengurangi jumlah unit organisasi atau tingkat manajerial melalui divestasi.

Ada beberapa penyebab yang menjadikan sebuah perusahaan melakukan downsizing :
a)    Krisis ekonomi yang dalami oleh perusahaan
b)   Pendapatan perusahaan lebih kecil ketimbang pengeluaran
c)    Jumlah tenga kerja yang terlampau banyak
d)   Butuh tenaga kerja yang lebih professional dan personalia yang baru
e)    Perusahaan ingin membuka cabang baru

Dampaknya adalah :
Kebijakan downsizing atau pengurangan karyawan tidak selamanya buruk, tetapi juga tidak selamanya akan dapat menyelamatkan perusahaan dari kerugian.  Secara umum, downsizing dapat dikatakan usaha dari manajemen organisasi untuk mengefisienkan perbandingan antara benefit dengan cost yang dikeluarkan pada tingkat menguntungkan.  Kebijakan ini sangat tergantung dari permasalahan yang dihadapi perusahaan, maupun respon yang dilakukan pihak manajemen dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Downsizing diharapkan mempunyai manfaat ekonomis maupun organisasional seperti biaya overhead yang semakin rendah, birokrasi berkurang, pengambilan keputusan lebih cepat, komunikasi lebih lancar serta produktifitas yang semakin meningkat.  Namun disamping keberhasilan downsizing, banyak juga perusahaan yang mengalami sebaliknya.  Permasalahan baru yang muncul akibat kebijakan downsizing adalah sikap negatif dari pekerja terhadap upaya restrukturisasi tersebut.

Downsizing juga menyebabkan mereka mengurangi komitmen karyawan kepada perusahaan. Proses downsizing yang diproses dianggap kurang pantas dan kurang fair bagi karyawan sehingga mengurangi komitmen mereka terhadap perusahaan.

karakteristik “transformational change”
a)    Change is triggered by environmental and internal disruptions
b)   Change is aimed at competitive advantage
c)    Change is systemic and revolutionary
d)   Change demands a new organizing paradigm
e)    Change is driven by senior excecutives and line management
f)    Change involves significant learning

Senin, 11 Agustus 2014

Tentang Turnover Karyawan


Karyawan merupakan suatu aset  perusahaan yang utama. Bagaimanapun sempurnanya perencanaaan, kebijakan, maupun peralatan dan  teknologi mutakhir yang dimiliki suatu perusahaan tidak ada artinya bila tidak ada faktor yang menggerakkannya. Bila manajemen perusahaan mampu mengelola dengan baik,  menggunakan secara optimal, tenaga kerja yang termotivasi akan memiliki semangat kerja  tinggi sehingga produktivitasnya juga menjadi lebih baik yang pada akhirnya akan mencapai  sasaran seperti yang diharapkan oleh perusahaan.

Tuntutan suatu perusahaan untuk mendapatkan, mengembangkan, dan mempertahankan sumber daya manusia yaitu karyawan, terutama karyawan yang berkualitas semakin sulit dipertahankan karena dinamika lingkungan yang selalu berubah. Maka dari itu, salah satu solusinya yaitu perlunya suatu pengolahan Manajemen Karier yang baik sehingga perusahaan mampu mempertahankan serta mengembangkan karyawan. Setiap karyawan yang bekerja dalam satu perusahaan, pastilah ingin kariernya berkembang. Salah satunya adalah pemenuhan jenjang karier, yang mengacu pada eksistensi diri. Tidak semua karyawan (manajemen dan non- manajemen) memiliki perencanaan karier yang jelas dan tertulis.

Watson Wyatt, salah satu konsultan sumber daya manusia dalam hasil survey Global Strategic Rewards 2007/2008 menyimpulkan bahwa perusahaan di Indonesia menghadapai masalah dalam mempertahankan karyawan berprestasi tinggi. Bahkan masalah ini lebih tinggi dibanding kebanyakan negara Asia Pasifik lainnya yang ikut dalam survey. Hasil dari survey Watson Wyatt mengatakan bahwa saat ini perusahaan di Indonesia masih menghadapi tantangan dalam mempertahankan karyawan yang memiliki Critical Skills (74%), Top Performing (76%) dan High Potential (64%). Upaya untuk mempertahankan karyawan telah menjadi persoalan utama dalam banyak organisasi karena beberapa alasan. Dengan perputaran yang lebih rendah, setiap individu yang dipelihara berarti berkurangnya satu orang yang harus direkrut, diseleksi, dan dilatih.Selain itu survey yang dilakukan International Business Report 2008 menunjukkan bahwa masalah kegagalan retensi karyawan menghasilkan masalah, terutama meningkatnya beban kerja bagi karyawan lain (41%), naiknya beban operasi (38%), kalah bersaing dari competitor (32%), menurunnya standar customer service (28%), dan beberapa masalah lainnya.(http://www.managementfile.com).Selain itu, untuk dapat meningkatkan tingkat retensi kayawan sebaiknya perusahaan juga perlu memperkuat komitmen organisasi pada karyawannya. Komitmen yang tinggi akan menentukan tingkat retensi karyawan dan produktifitas kerja yang baik.

Menurut vibiznews.com Rata-rata turnover karyawan pada tahun 2008 sektor perbankan nasional mencapai 10-11% per tahun, tingkat turnover pada industri migas yang mencapai 12% dan sektor manufaktur yang berkisar 8%. Beberapa perusahaan di Indonesia bahkan di duniapun seringkali kesulitan dalam mempertahankan karyawan terbaik yang memiliki keahlian penting. Perusahaan menghadapi masalah turnover karyawan yang memang tidak dapat dihindari dan sering dihadapi oleh perusahaan. Manajemen juga banyak yang tidak peduli dan tidak mengetahui seberapa besar kerugian akibat turnover karyawan yang tinggi ini bagi perusahaan yaitu diukur dari biaya perekrutan sampai dengan pembinaan, pemberdayaan mereka dan potensi serta skill mereka dalam menghasilkan benefit/manfaat bagi perusahaan.

~CPratanto.blogspot.com~

Selasa, 10 Desember 2013

Jalur Karir,Kerangka Perencanaan dan Pengembangan Karir


Bimbingan dan Informasi Karier
Menurut Hariandja (2005) Bimbingan karier adalah upaya untuk menentukan jalur karier yang paling tepat bagi seseorang, yang dilakukan melalui penyadaran akan minat dan kemampuan untuk memilih jalur karier yang paling tepat, yang dapat dilakukan melalui tes-tes bakat yang dikaitkan dengan kemungkinan jalur karier yang paling efektif. Pembimbing karier mendorong seseorang untuk menilai diri sendiri dan menilai lingkungan, yaitu faktor-faktor yang dapat menghambat usaha pencapaian karier untuk dipertimbangkan oleh pegawai.

Informasi karier adalah informasi yang dibutuhkan seperti uraian jabatan ( job description), persyaratan jabatan ( job specification ) , dan standar untuk kerja (performance standard), sehingga meraka dapat merumuskan rencana karier yang masuk akal bagi mereka melalui jalur karier yang ada di perusahaan yang dapat paling tepat untuk ditempuh, jenis-jenis pekerjaan yang memiliki dasar keahlian yang sama, dan langkah-langkah untuk dapat menaikinya atau mendudukinya.

Pola dan Jalur Karir
Pola dan jalur karir yang harus dirancang oleh perusahaan terdiri atas dua jenis, yakni pola dan jalur karir jabatan serta pola dan jalur karir karyawan. Pola dan jalur karir jabatan lebih bersifat perencanaan, sedangkan pola dan jalur karir karyawan sudah merupakan tindakan menempatkan karyawan yang tepat pada posisi yang tepat (the right man in the right place). Pola karir adalah urutan karir berdasarkan bidang serumpun yang harus dilalui oleh seseorang karyawan. (Noor Fuad & Gofur Ahmad,2009)

Kerangka Perencanaan dan Pengembangan Karir

Catatan :
·         Jalur Karier (career path) : Pola pekerjaan berurutan yang membentuk karier seseorang.
·         Sasaran Karier (career goals) : Posisi di waktu yang akan datang dimana seseorang“berjuang” untuk mencapainya sebagai bagian dari kariernya.

Pengembangan Karier



Pengembangan Karier
Berdasarkan Byars dan Rue (2006,p200) Pengembangan karier (career development) adalah usaha berkelanjutan dan formal oleh organisasi yang berfokus pada pengembangan dan memperkaya sumber daya manusia organisasi dalam memenuhi kebutuhan karyawan dan organisasi.
Menurut Dessler dan Tan Chwee Huat (2009, p258) pengembangan karier merupakan rangkaian kegiatan seumur hidup. Menurut Mondy (2010, p228) pengembangan karier adalah pendekatan formal yang digunakan perusahaan untuk memastikan bahwa orang – orang dengan kualifikasi dan pengalaman yang tepat, tersedia saat dibutuhkan.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan karier adalah proses pengembangan minat dan bakat individu.

Dalam mengimplementasikan program pengembangan karier yang sukses menurut Byars, Rue (2006, pp202-205), terdapat 4 langkah dasar, yaitu:
a.      Individual Assessment
Individual assessment adalah penilaian akan kemampuan, hobi dan tujuan karier diri sendiri. Individual assessment tidak seharusnya dibatasi pada sumber dan kemampuan saat ini, perencanaan karier umumnya membutuhkan individu yang membutuhkan training dan keahlian tambahan
b.       Organization Assessment
Beberapa sumber informasi dapat digunakan oleh organisasi untuk menilai karyawannya, yaitu: catatan penilaian kinerja, latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, dan lain-lain. Penilaian karyawan oleh organisasi seharusnya dilakukan bersamaan oleh staf HRD dan manajer langsung yang bertindak sebagai mentor.
c.       Communication of Career Options
Untuk menetapkan tujuan karier yang realistis, individu harus tahu pilihan dan kesempatan yang tersedia. Salah satu caranya adalah memberitahukan jalur karier yang tersedia. Jalur karier (career pathing) adalah teknik yang menunjukkan perkembangan dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain di dalam organisasi.
d.      Career Counseling

Career counseling adalah aktivitas yang mengintegrasikan langkah-langkah berbeda di dalam proses pengembangan karier. 

 
Redesign by Syar'ie