Selasa, 20 Januari 2015

Sentralitas Kerja (Work Centrality)



                             Pengertian Work Centrality

Menurut Paullay, Alliger, & Stone-Romero (1994) dalam Blakely, Srivastava, Moorman (2005, p103) Work Centrality atau sentralitas kerja adalah tingkat pentingnya pekerjaan dalam kehidupan seseorang. Menurut Diefendorff, Brown, Kamin, and Lord (2002, p96) ditemukan dukungan untuk hubungan langsung antara sentralitas kerja dan OCB. Dalam studi mereka tentang hubungan antara Job Involvement dan OCB, termasuk sentralitas kerja sebagai variabel kontrol.

Menurut Konungo (1982) dalam K Praveen dan Cullen (2003, p137) Work Centrality mengacu pada pentingnya pekerjaan umum dalam kehidupan seorang individu dibandingkan dengan kegiatan lain seperti rekreasi, menghabiskan waktu bersama teman, atau keluarga. Work Centrality yang tinggi berarti bahwa karyawan dapat mengidentifikasi dengan peran pekerjaan seseorang, dan melihat pekerjaan sebagai aspek penting kehidupan  (Diefendorff, Brown, Kamin, & Lord, 2002, p96). Dengan demikian, individu dengan Work Centrality yang tinggi melampirkan lebih penting untuk peran kerja dalam hidup daripada individu yang mendapat skor rendah pada sentralitas kerja. Selanjutnya, secara umum mengakui bahwa Work Centrality adalah sikap relatif stabil terhadap pekerjaan yang tidak sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan kerja tertentu (Hirschfeld & Field (2002).
Work Centrality terutama diturunkan dari nilai-nilai dasar. Menurut Kanungo (1982) dalam Tevruz, Turgut (2004), Work Centrality adalah keyakinan normatif tentang nilai dan pentingnya pekerjaan dalam konfigurasi kehidupan seseorang, dan itu merupakan fungsi dari keadaan masa lalu, budaya seseorang atau sosialisasi. Beberapa peneliti (misalnya Kanungo, 1982) dalam Tevruz, Tugrut (2004) menggunakan istilah Job Involvement (keterlibatan kerja) istilah atau 'keterlibatan dengan pekerjaan' untuk menentukan Work Centrality. Work Centrality adalah tingkat pentingnya pekerjaan pada umumnya daripada keterlibatan dalam pekerjaan ini. Oleh karena itu, Work Centrality berbeda dari konsep-konsep lain seperti, komitmen organisasi dan keterlibatan kerja. Sebuah studi empiris oleh Paullay, dkk. (1994) dalam Tevruz. Tugrut (2004) telah menjelaskan perbedaan antara Work Centrality dan Job Involvement dan telah menunjukkan bahwa kedua konsep ini sebenarnya tampak dua konstruksi yang berbeda. . Dalam studi oleh Paullay dkk, Job Involvement didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang kognitif sibuk dengan, terlibat dalam, dan peduli dengan pekerjaan seseorang, dan Work Centrality didefinisikan sebagai kepercayaan bahwa orang miliki tentang tingkat kepentingan kerja memainkan dalam hidup mereka. Meskipun korelasi, moderat positif ditunjukkan antara instrumen pengukuran Work Centrality dan Job Involvement, analisis faktor konfirmatori memberikan dukungan untuk hipotesis bahwa Job Involvement dan Work Centrality adalah dua konstruksi yang berbeda.

Berdasarkan dari definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa Work Centrality atau sentralitas kerja merupakan sikap dari para karyawan bahwa pekerjaan yang dia libatkan seberapa besar dan pentingnya dalam kepercayaan seseorang terhadap pentingnya pekerjaan tersebut.
                   Dalam studi MOW terdapat 2 Komponen Work Centrality :
·      Orientasi nilai (identifikasi dengan pekerjaan, komitmen untuk bekerja)

·     Orientasi keputusan (Kepentingan hidup, perilaku pengaturan, dan hubungan interpersonal.

Keterlibatan Kerja (Job Involvement)




1. Pengertian Job Involvement
         Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003) mendefinisikan keterlibatan kerja (Job Involvement) sebagai internalisasi nilai-nilai tentang kebaikan pekerjaan atau pentingnya pekerjaan bagi keberhargaan seseorang. Keterlibatan kerja sebagai tingkat sampai sejauh mana performansi kerja seseorang mempengaruhi harga dirinya dan tingkat sampai sejauh mana seseorang secara psikologis mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan dalam gambaran diri totalnya. Individu yang memiliki keterlibatan yang tinggi lebih mengidentifikasikan dirinya pada pekerjaannya dan menganggap pekerjaan sebagai hal yang sangat penting dalam kehidupannya.
       Brown (dalam Muchinsky, 2003) mengatakan bahwa keterlibatan kerja (Job Involvement) merujuk pada tingkat dimana seseorang secara psikologis memihak kepada organisasinya dan pentingnya pekerjaan bagi gambaran dirinya. Ia menegaskan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi dapat terstimulasi oleh pekerjaannya dan tenggelam dalam pekerjaannya.
            Robbins menambahkan bahwa karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan. Seseorang yang memiliki Job Involvement yang tinggi akan melebur dalam pekerjaan yang sedang ia lakukan. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi berhubungan dengan Organizational Citizenship Behavior dan performansi kerja. Sebagai tambahan, tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dapat menurunkan jumlah ketidakhadiran karyawan (Robbins, 2009: 306).
             Hiriyappa (2009) mendefinisikan keterlibatan kerja (Job Involvement) sebagai tingkat sampai sejauh mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaannya, secara aktif berpartisipasi di dalamnya, dan menganggap performansi yang dilakukannya penting untuk keberhargaan dirinya. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi akan menurunkan tingkat ketidakhadiran dan pengunduran diri karyawan dalam suatu organisasi. Sedangkan tingkat keterlibatan kerja yang rendah akan meningkatkan ketidakhadiran dan angka pengunduran diri yang lebih tinggi dalam suatu organisasi.
         Patchen (dalam Srivastava, 2005) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) yang tinggi akan menunjukkan perasaan solidaritas yang tinggi terhadap perusahaan dan mempunyai motivasi kerja internal yang tinggi. Individu akan memiliki keterlibatan kerja yang rendah jika ia memiliki motivasi kerja yang rendah dan merasa menyesal dengan pekerjaannya. Artinya, individu yang memiliki keterlibatan kerja yang rendah adalah individu yang memandang pekerjaan sebagai bagian yang tidak penting dalam hidupnya, memiliki rasa kurang bangga terhadap perusahaan, dan kurang berpartisipasi dan kurang puas dengan pekerjaannya.
          Berdasarkan dari definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa keterlibatan kerja (Job Involvement) merupakan komitmen seorang karyawan terhadap pekerjaannya yang ditandai dengan karyawan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dalam lingkungan kerjanya, serta keterlibatan kerja berhubungan langsung dengan Organizational Citizenship Behavior dalam menentukan kinerja. Dengan adanya perasaan terikat secara psikologis terhadap pekerjaan yang ia lakukan, maka karyawan akan merasa bahwa pekerjaanya sangat penting dalam kehidupan kerja dan mempunyai keyakinan kuat akan kemampuan dalam menyelesaikan masalah.

2. Karakteristik Job Involvement
        Ada beberapa karakteristik dari karyawan yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) yang tinggi dan yang rendah (Cohen, 2003), antara lain:
a.    Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi:
  • ·         Menghabiskan waktu untuk bekerja
  • ·         Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dan perusahaan
  • ·         Puas dengan pekerjaannya
  • ·         Memiliki komitmen yang tinggi terhadap karier, profesi, dan organisasi
  • ·         Memberikan usaha-usaha yang terbaik untuk perusahaan
  • ·         Tingkat absen dan intensi turnover rendah
  • ·         Memiliki motivasi yang tinggi
  •  

b.    Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang rendah:
  • ·         Tidak mau berusaha keras untuk kemajuan perusahaan
  • ·         Tidak peduli dengan pekerjaan maupun perusahaan
  • ·         Tidak puas dengan pekerjaan
  • ·         Tidak memiliki komitmen terhadap pekerjaan maupun perusahaan
  • ·         Tingkat absen dan intensi turnover tinggi
  • ·         Memiliki motivasi kerja yang rendah
  • ·         Tingkat pengunduran diri yang tinggi
  • ·         Merasa kurang bangga dengan pekerjaan dan perusahaan
  •  


3. Dimensi Job Involvement
        Menurut Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003), Job Involvement memiliki dua dimensi, yaitu:

a. Performance self-esteem contingency
      Keterlibatan kerja merefleksikan tingkat dimana rasa harga diri seseorang dipengaruhi oleh performansi kerjanya. Aspek ini mencakup tentang seberapa jauh hasil kerja seorang karyawan (performance) dapat mempengaruhi harga dirinya (self-esteem). Harga diri didefinisikan sebagai suatu indikasi dari tingkat dimana individu mempercayai dirinya mampu, cukup, dan berharga (Harris & Hartman, 2002).

b. Pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total individu
         Dimensi ini merujuk pada tingkat sejauh mana seseorang mengidentifikasikan dirinya secara psikologis pada pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri totalnya. (Dubin (dalam Cohen, 2003) mengatakan bahwa orang yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) adalah orang yang menganggap pekerjaan sebagai bagian yang paling penting dalam hidupnya. Ini berarti bahwa dengan bekerja, ia dapat mengekspresikan diri dan menganggap bahwa pekerjaan merupakan aktivitas yang menjadi pusat kehidupannya. Karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan (Robbins, 2009:303).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Job Involvement
           Keterlibatan kerja (Job Involvement) dapat dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu variabel personal dan variabel situasional.

a. Variabel personal
           Variabel personal yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja meliputi variabel demografi dan psikologis. Variabel demografi mencakup usia, pendidikan, jenis kelamin, status pernikahan, jabatan, dan senioritas.
          Moynihan dan Pandey (2007) juga menemukan bahwa usia memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan keterlibatan kerja, dimana karyawan yang usianya lebih tua cenderung lebih puas dan terlibat dengan pekerjaan mereka, sedangkan karyawan yang usianya lebih muda kurang tertarik dan puas dengan pekerjaan mereka. Hickling (2001) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk mengukur pengaruh variabel demografi dan status karyawan (part-time atau full-time) menemukan bahwa variabel demografi dan status karyawan memiliki hubungan dengan keterlibatan kerja. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa karyawan  full-time dan part-time berbeda dalam karakteristik demografi, dimana wanita memiliki tingkat absen yang lebih tinggi daripada pria, yang mengindikasikan bahwa wanita memiliki keterlibatan kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. ia juga menemukan bahwa karyawan yang bekerja full-time lebih terlibat dalam pekerjaannya dibandingkan dengan karyawan yang bekerja part-time. Westhuizen (2008) dalam penelitiannya menambahkan bahwa variabel-variabel demografi lainnya seperti gaji memiliki hubungan dengan keterlibatan kerja (Job Involvement).
          Sedangkan variabel psikologis mencakup intrinsic/extrinsic need strength, nilai-nilai kerja, locus of control, kepuasan terhadap karakteristik/hasil kerja, usaha kerja, performansi kerja, absensi, dan intensi turnover.
            Bazionelos (2004) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara trait kepribadian dengan keterlibatan kerja pada manajer menemukan bahwa ada hubungan antara trait kepribadian dengan keterlibatan kerja ditinjau dari teori 5 Faktor, dimana tipe kepribadian extraversion, openness, agreeableness berhubungan dengan keterlibatan kerja. Ia menemukan bahwa manajer yang memiliki karakteristik aggreableness yang rendah menunjukkan keterlibatan kerja yang tinggi. Selain itu, ia juga menemukan bahwa ada hubungan yang negatif antara extraversion dan openness dengan keterlibatan kerja.

b. Variabel situasional
        Variabel situasional yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja mencakup pekerjaan, organisasi, dan lingkungan sosial budaya. Variabel pekerjaan mencakup karakteristik/hasil kerja, variasi, otonomi, identitas tugas, feedback, level pekerjaan (status formal dalam organisasi), level gaji, kondisi pekerjaan (work condition), job security, supervisi, dan iklim interpersonal. Mehta (dalam Srivastava, 2005) mengatakan bahwa faktor-faktor seperti otonomi, hubungan pertemanan, perilaku pengawas, kepercayaan, dan dukungan menuntun pada keterlibatan kerja yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas.
              Irawan (2010) dalam penelitiannya tentang hubungan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan kerja juga menemukan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan kerja. Artinya, apabila persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan demokratis positif, maka keterlibatan kerja karyawan tinggi.
Variabel organisasi mencakup iklim organisasi (partisipatif/mekanistik), ukuran organisasi (besar/kecil), struktur organisasi (tall/flat), dan sistem kontrol organisasi (jelas/tidak jelas). Karia dan Asaari (2003) mengatakan bahwa praktek continuous improvement dan pencegahan terhadap masalah secara signifikan berkorelasi positif dengan keterlibatan kerja, kepuasan kerja, kepuasan karier, dan komitmen organisasi.
         Hao, Jung, dan Yenhui (2009) dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor penting dari keterlibatan kerja (Job Involvement) personil layanan finansial menemukan bahwa dukungan sosial dan hubungan teman sebaya memiliki hubungan langsung yang signifikan dengan keterlibatan kerja. Mishra dan Shyam (2005) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara tipe-tipe dukungan sosial dengan keterlibatan kerja pada sipir penjara juga menemukan bahwa ketiga tipe dukungan sosial yang diukur (appraisal, tangible, dan belonging support) berhubungan positif dengan keterlibatan kerja. Variabel lingkungan sosial budaya mencakup ukuran komunitas, rural/urban, budaya etnis, dan agama.
             Kaur dan Chadha (dalam Srivastava, 2005) menemukan bahwa bagi pekerja white-collar, stres yang tinggi menuntun pada keterlibatan kerja yang rendah, sedangkan bagi pekerja blue-collar, stres yang tinggi menuntun pada keterlibatan kerja yang tinggi.


          Ada beberapa penelitian lainnya yang dilakukan mengenai keterlibatan kerja (Job Involvement). Penelitian mengenai kepuasan kerja dan keterlibatan kerja menunjukkan hubungan positif antara keduanya. Makvana (2008) menemukan bahwa karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan kerja yang tinggi menunjukkan tingkat kepuasan kerja yang tinggi. Brown (dalam Mantler & Murphy, 2005) juga menambahkan bahwa orang-orang dengan keterlibatan kerja yang tinggi cenderung puas dengan pekerjaannya dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap karier, profesi, dan organisasi mereka.

 
Redesign by Syar'ie