Selasa, 06 Maret 2012

Kepemimpinan Lintas Budaya

Kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu.

Manajer vs Pemimpin
·         Perbedaan antara manajer dan pemimpin dipaparkan oleh Warren Bennis sebagai berikut :
  •  Manajer mengelola; pemimpin menginovasi.
  • Manajer adalah tiruan; pemimpin adalah orisinal.
  • Manajer mempertahankan; pemimpin mengembangkan.
  • Manajer berfokus pada sistem dan struktur; pemimpin berfokus pada orang.
  • Manajer bergantung pada pengawasan; pemimpin membangkitkan kepercayaan.
  • Manajer melihat jangka pendek; pemimpin melihat perspektif jangka panjang.
  • Manajer bertanya kapan dan bagiamana; pemimpin bertanya apa dan mengapa.
  • Manajer melihat hasil pokok; pemimpin menatap masa depan.
  • Manajer meniru; pemimpin melahirkan.
  • Manajer menerima status quo; pemimpin menentangnya.
  • Manajer adalah prajurit yang baik; pemimpin adalah dirinya sendiri.
  • Manajer melakukan hal-hal dengan benar; pemimpin melakukan hal-hal yang benar.

·         Apakah manajer yang baik selalu menjadi pimpinan yang baik? Belum tentu. Fenomena di atas telah menunjukkan bahwa bisa jadi seseorang bisa menjadi manajer yang baik dimata atasan karena target-target pekerjaan bisa tercapai, karena laporan bisa dikirimkan tepat waktu dan masalah-masalah bisa di selesaikan dengan baik. Tetapi bisa jadi dia bukan pemimpin yang baik karena mencapaian hasil tersebut dilakukan dengan kepemimpinan yang otoriter, tidak memahami dan mengerti kondisi bawahan, memandang bawahan sebagai alat untuk bekerja bukan sebagai manusia. Sehingga memberikan kesan buruk dimata bawahan dan bahkan berharap pimpinannya segera dipindahkan.

·         Jadi manajer dan pemimpin yang baik adalah yang mempunyai nilai yang baik dimata atasan maupun bawahannya. Manajer yang juga pemimpin adalah yang tidak memandang manusia sebagai alat untuk bekerja tetapi sebagai sebuah potensi yang perlu digali dan dikembangkan agar lebih bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan perusahaan. Manajer yang juga pemimpin adalah yang mengangkat dan mengakui sisi-sisi kemanusiaan di tempat kerja. Manajer yang juga pemimpin adalah yang tidak hanya terfokus pada target semata tetapi bagaimana menumbuhkan kesadaran semua pihak untuk mencapainya. 

Philosophical background
Teori X
·         Pada tahun 1960, Douglas McGregor mengidentifikasi dua sudut pandang tentang manajemen, yang dianut dalam tingkatan yang bervariasi oleh sebagian besar manajer. Dua sudut pandang itu disebut Teori X dan Teori Y.
·         Teori X memandang manusia sebagai pemalas, yang lebih suka diberi arahan secara detail tentang apa yang harus dilakukan, menghindari tanggung jawab, memiliki sedikit ambisi, Dan di atas semuanya, manusia menginginkan rasa aman (security).

·         Manajer media yang memandang stafnya seperti itu akan percaya, agar pekerjaan bisa tuntas, karyawan harus dikontrol, dipaksa, diancam dengan disiplin, dan dihukum.
·         Teori X ini berakar pada pendekatan “scientific management,” yang dikembangkan oleh Frederick Taylor. Menurut Taylor (1947), sebagian besar orang menganggap kerja pada dasarnya tidak menyenangkan. Oleh karena itu, uang yang akan mereka peroleh adalah motivasi utama karyawan mau menghabiskan waktu berjam-jam untuk kerja.
·         Asumsi-asumsi teori X :
  • Orang tidak suka bekerja dan mencoba menghindarinya.
  • Orang tidak suka bekerja, sehingga manajer harus mengontrol, mengarahkan, memaksa, dan mengancam karyawan agar mereka bekerja ke arah tujuan-tujuan organisasi.
  • Orang lebih suka diarahkan, untuk menghindari tanggung jawab, untuk memperoleh rasa aman. Mereka hanya mempunyai sedikit ambisi.
Teori Y
·         Teori Y memandang secara berbeda. Teori ini memandang upaya fisik dan mental sebagai bagian yang penting dan alamiah (natural) dari aktivitas manusia. Teori Y mengasumsikan, orang akan melakukan control diri (self-control) dan mengarahkan dirinya sendiri (self-direction), jika mereka berkomitmen pada tujuan-tujuan pekerjaan mereka.
·         Bagi eksekutif media yang menerima Teori Y, pengembangan dan pemeliharaan lingkungan kerja yang memuaskan adalah sangat esensial, untuk meraih kinerja staf yang tinggi.

·         Teori Y muncul dari hasil karya Elton Mayo (1953) dan rekan-rekannya, dan sering disebut “pendekatan hubungan manusiawi” (human relations approach). Sudut pandang ini menekankan pentingnya peran proses sosial di tempat kerja.
·         Ia mengasumsikan bahwa karyawan ingin merasa berguna dan penting, dan bahwa menjadi bagian dari sebuah kelompok sosial itu punya arti signifikan. Selain itu, imbalan-imbalan yang bersifat non-finansial sering lebih penting ketimbang uang, dalam memotivasi karyawan untuk jangka panjang.

·         Banyak perilaku reporter di media cetak, copywriter di perusahaan periklanan, atau broadcaster di stasiun televisi, mencerminkan Teori Y. Mereka bicara tentang kegairahan dan tantangan dalam pekerjaan, tentang spirit yang mereka bagi dengan rekan-rekan kerja (termasuk atasannya), serta tentang standar mereka sendiri dan hasrat untuk melakukan pekerjaan secara baik.

·         Semua itu dipandang sebagai pendorong utama, yang memotivasi para karyawan. Mereka juga mencatat bahwa memenangkan sebuah penghargaan utama atau mendapat penugasan yang dipilihnya, sering terasa lebih berarti daripada sekadar kenaikan gaji.
·         Asumsi-asumsi teori Y :
  • Orang pada hakikatnya bukannya tidak suka bekerja. Kerja adalah bagian alamiah dari hidup mereka.
  • Orang secara internal termotivasi untuk mencapai tujuan-tujuan, terhadap mana mereka telah berkomitmen.
  • Orang berkomitmen terhadap tujuan-tujuan, sampai ke tahap di mana mereka menerima imbalan personal ketika mereka mencapai tujuan-tujuan itu.
  • Orang akan mencari dan menerima tanggung jawab di bawah kondisi-kondisi yang menguntungkan (favorable).
  • Orang memiliki kapasitas untuk menjadi inovatif, dalam memecahkan problem-problem organisasi.
  • Orang itu cemerlang, namun di bawah sebagian besar kondisi perusahaan, potensi mereka menjadi tidak termanfaatkan.
Teori Z
·         Pendekatan ketiga, yang diusulkan oleh William Ouchi (1981), muncul dari hasil observasi terhadap perbedaan-perbedaan, antara bekerja di perusahaan Jepang dan di perusahaan Amerika Serikat. Teori Z menganggap, rasa aman (security) secara khusus punya arti penting.

·         Dalam sistem manajemen Jepang, keamanan itu terjamin karena sebagian besar pekerja memiliki masa kerja seumur hidup (lifetime employment) di satu perusahaan. Organisasi gaya Jepang ini berkomitmen pada hubungan jangka panjang tersebut, dengan tinjauan kinerja secara reguler dan tegas, yang memberikan umpan-balik yang dituntut sebagian besar karyawan, agar bisa berfungsi efektif.

·         Teori Z juga menekankan perkembangan hubungan kepercayaan (trust relationship) antara pemimpin dan yang dipimpin. Penekanan itu didasarkan pada asumsi bahwa motivasi orang pertama-tama bersifat internal. Namun, perasaan-perasaan itu harus diperkuat oleh komitmen jelas terhadap karyawan dari pihak majikan/pimpinan.

·         Teori Z melihat pengambilan keputusan kolektif dan tanggung jawab kelompok memberikan dukungan sosial yang diperlukan bagi tercapainya kinerja puncak. Hal itu terjadi lewat penciptaan rasa aman, yang memungkinkan para karyawan membangkitkan ide-ide baru tanpa takut ditolak atau takut gagal.

Leadership behavior and styles
GAYA KEPEMIMPINAN 

·         Gaya Kepemimpinan Paternalistik
Tipe paternalistik adalah gaya kepemimpinan yang bersifat kebapakan. Pemimpin selalu memberikan perlindungan kepada para bawahan dalam batas-batas kewajaran.

Ciri-ciri pemimpin penganut paternalistik antara lain:
  • Pemimpin bertindak sebagai seorang bapak.
  • Memperlakukan bawahan sebagai orang yang belum dewasa.
  • Selalu memberikan perlindungan kepada para bawahan yang kadang-kadang berlebihan.
  • Keputusan ada di tangan pemimpin, bukan karena ingin bertindak secara otoriter, tetapi karena keinginan memberikan kemudahan kepada bawahan. Oleh karena itu para bawahan jarang bahkan sama sekali tidak memberikan saran kapada pimpinan, dan Pimpinan jarang bahkan tidak pernah meminta saran dari bawahan.
  • Pimpinan menganggap dirinya yang paling mengetahui segala macam persoalan. 

·         Gaya kepemimpinan Demokratis / Partisipatif
Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para bawahannya. Dalam gaya ini, besar peluang untuk melakukan pengembangan diri. Sehingga setiap orang yang dipimpin memiliki motivasi diri untuk berkembang.
  
Menurut Robbins dan Coulter (2002), gaya kepemimpinan demokratis mendeskripsikan pemimpin yang cenderung mengikutsertakan karyawan dalam pengambilan keputusan, mendelegasikan kekuasaan, mendorong partisipasi karyawan dalam menentukan bagaimana metode kerja dan tujuan yang ingin dicapai, dan memandang umpan balik sebagai suatu kesempatan untuk melatih karyawan (p. 460). 

Ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis (Sukanto, 1987, pp. 196-198):
  • Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan diambil dengan dorongan dan bantuan dari pemimpin.
  • Kegiatan-kegiatan didiskusikan, langkah-langkah umum untuk tujuan kelompok dibuat, dan jika dibutuhkan petunjuk-petunjuk teknis pemimpin menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat dipilih.
  • Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih dan pembagian tugas ditentukan oleh kelompok.

·         Gaya Kepemimipinan Otoriter/Otokrasi (Authoritarian)
Kepemimpian otokrasi disebut juga kepemimpinan diktator atau direktif. Orang yang menganut pendekatan ini mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan para karyawan yang harus melaksanakannya atau karyawan yang dipengaruhi keputusan tersebut (Fandi Tjiptono dan Anastasia Diana, 2000: 161).

Gaya kepemimpinan otoriter dalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara penuh. Pada gaya kepemimpinan otokrasi ini, pemimpin mengendalikan semua aspek kegiatan. Pemimpin memberitahukan sasaran apa saja yang ingin dicapai dan cara untuk mencapai sasaran tersebut, baik itu sasaran utama maupun sasaran minornya.
  
Pemimpin juga berperan sebagai pengawas terhadap semua aktivitas anggotanya dan pemberi jalan keluar bila anggota mengalami masalah. Dengan kata lain, anggota tidak perlu pusing memikirkan apappun. Anggota cukup melaksanakan apa yang diputuskan pemimpin.Kepemimpinan otokrasi cocok untuk anggota yang memiliki kompetensi rendah tapi komitmennya tinggi.
 
Kepemimpinan otokrasi dapat dilihat dari ciri-cirinya antara lain :
  • Mengandalkan kepada kekuatan atau kekuasaan yang melekat pada dirinya.
  • Menganggap dirinya paling berkuasa.
  • Menganggap dirinya paling mengetahui segala persoalan, orang lain dianggap tidak tahu
  • Keputusan-keputusan yang diambil secara sepihak, tidak mengenal kompromi, sehingga ia tidak mau menerima saran dari bawahan, bahkan ia tidak memberi kesempatan kepada bawahan untuk meberikan saran, pendapat atau ide.
  • Keras dalam menghadapi prinsip.
  • Jauh dari bawahan
  • Lebih menyukai bawahan yang bersikap ABS (Asal Bapak Senang).
  • Perintah-perintah diberikan secara paksa.
  • Pengawasan dilakukan secara ketat agar perintah benar-benar dilaksanakan.

Recent Findings and Insights About Leadership
Terdapat 3 (tiga) tipe leader/pemimpin.
  1. ·         Kepemimpinan Transformasional
    Pemimpin dengan kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang memiliki visi ke depan dan mampu mengidentifikasi perubahan lingkungan serta mampu mentransformasi perubahan tersebut ke dalam organisasi, memelopori perubahan dan memberikan motivasi dan inspirasi kepada individu-individu karyawan untuk kreatif dan inovatif, serta membangun team work yang solid, membawa pembaharuan dalam etos kerja kinerja manajemen, berani dan bertanggung jawab memimpin dan mengendalikan organisasi.


Prinsip Kepemimpinan Transformasional yang Sinergis


 

2.   Kepemimpinan Transaksional 

Menurut Bycio dkk. (1995) serta Koh dkk. (1995), kepemimpinan transaksional adalah gaya kepemimpinan di mana seorang pemimpin menfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan.

Hubungan antara pemimpin transaksional dangan bawahan terjadi jika:
  • Mengetahui apa yang diinginkan bawahan dan berusaha menjelaskan bahwa mereka akan memperoleh apa yang diiginkan apabila kinerja mereka memenuhi harapan.
  • Memberikan / menukar usaha-usaha yang dilakukan bawahan dengan imbalan atau janji memperoleh imbalan.
  • Responsif terhadap kepentingan pribadi bawahan selain kepentingan pribadi itu sepadan dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan oleh bawahan.

Kepemimpinan transaksional menekankan pada transaksi atau pertukaran yang terjadi antar pemimpin, rekan kerja dan bawahannya. Pertukaran ini didasarkan pada diskusi pemimpin dengan pihak-pihak terkait untuk menentukan apa yang dibutuhkan dan bagaimana spesifikasi kondisi dan upah/hadiah jika bawahan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
Prinsip dasar teori kepemimpinan transaksional adalah:
  • Kepemimpinan merupakan pertukaran sosial antara pemimpin dan para pengikutnya.
  • Pertukaran tersebut meliputi pemimpin dan pengikut serta situasi ketika terjadi pertukaran
  • Kepercayaan dan persepsi keadilan sangat esensial bagi hubungan pemimpin dan para pengikutnya.
  • Pengurangan ketidak pastian merupakan benefit penting yang disediakan oleh pemimpin.
  • Keuntungan dari pertukaran sosial sangat penting untuk mempertahankan suatu hubungan sosial.
Karakteristik kepemimpinan transaksional ditunjukkan dengan gambaran perilaku atasan sebagai berikut:
  • Imbalan Kontinjen (Contingency Reward). Pemimpin melakukan kesepakatan tentang hal-hal apa saja yang dilakukan oleh bawahan dan menjanjikan imbalan apa yang akan diperoleh bila hal tersebut dicapai.
  • Manajemen dengan eksepsi (Management by exception). Pada manajemen eksepsi pemimpin memantau deviasi dari standar yang telah ditetapkan dan melakukan tindakan perbaikan. Selain secara aktif, manajemen dengan eksepsi juga bisa dilakukan secara pasif.

·         3.  Kepemimpinan Kharismatik

Kepemimpinan Kharismatik adalah pemimpin yang dapat memberikan inspirasi, memotivasi, menarik perhatian para karyawannya melalui sifat-sifat kharismatik serta kemampuannya dalam rangka mencapai tujuan yang inginkan.

Pemimpin kharismatik menampilkan ciri-ciri sebagai berikut :
  • Memiliki visi yang amat kuat atau kesadaran tujuan yang jelas.
  • Mengkomunikasikan visi itu secara efektif.
  • Mendemontrasikan konsistensi dan fokus.
  • Mengetahui kekuatan-kekuatan sendiri dan memanfaatkannya.
    Karakteristik pemimpin yang kharismatik dijelaskan oleh Purwanto sebagai berikut :
  • Mempunyai daya penarik yang sangat besar, karena itu umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya juga besar.
  • Pengikutnya tidak dapat menjelaskan, mengapa mereka tertarik mengikuti dan menaati pemimpin itu.
  • Seolah-olah mempunyai kekuatan gaib.
  • Karisma yang dimiliki tidak bergantung pada umur, kekayaan, kesehatan, ataupun ketampanan si pemimpin.
Sementara itu, menurut Nurkolis mengungkapkan bahwa seorang pemimpin kharismatik mempunyai 7 (tujuh) karakteristik kunci, yaitu percaya diri, memiliki visi, memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan visi, memiliki pendirian yang kuat terhadap visinya, memiliki perilaku yang berbeda dari kebiasaan orang, merasa sebagai agen pembaru dan sensitif terhadap lingkungan.
Seorang pemimpin yang kharismatik memiliki karakteristik yang khas yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang sangat besar dan para pengikutnya tidak selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tertentu itu dikagumi. Pengikutnya tidak mempersoalkan nilai, sikap, dan perilaku serta gaya yang digunakan pemimpin.

Pemimpin kharismatik mempunyai kebutuhan yang tinggi akan kekuasaan, percaya diri, serta pendirian dalam keyakinan dan cita-cita mereka sendiri. Suatu kebutuhan akan kekuasaan memotivasi pmimpin tersebut untuk mencoba mempengaruhi para pengikut. Rasa percaya diri dan pendirian yang kuat meningktkan rasa percaya para pengikut terhadap pertimbangan dan pendapat pemimpin tersebut. Seorang pemimpin tanpa pola ciri yang demikian lebih kecil kemungkinannya akan mencoba mempengaruhi orang. Dan jika berusaha mempengaruhi maka lebih kecil kemungkinan untuk berhasil.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Redesign by Syar'ie