1. Pengertian Job
Involvement
Lodahl dan Kejner (dalam Cohen, 2003)
mendefinisikan keterlibatan kerja (Job Involvement) sebagai internalisasi
nilai-nilai tentang kebaikan pekerjaan atau pentingnya pekerjaan bagi keberhargaan
seseorang. Keterlibatan kerja sebagai tingkat sampai sejauh mana performansi
kerja seseorang mempengaruhi harga dirinya dan tingkat sampai sejauh mana
seseorang secara psikologis mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya atau
pentingnya pekerjaan dalam gambaran diri totalnya. Individu yang memiliki
keterlibatan yang tinggi lebih mengidentifikasikan dirinya pada pekerjaannya
dan menganggap pekerjaan sebagai hal yang sangat penting dalam kehidupannya.
Brown (dalam Muchinsky, 2003) mengatakan
bahwa keterlibatan kerja (Job Involvement) merujuk pada tingkat dimana
seseorang secara psikologis memihak kepada organisasinya dan pentingnya
pekerjaan bagi gambaran dirinya. Ia menegaskan bahwa seseorang yang memiliki
keterlibatan kerja yang tinggi dapat terstimulasi oleh pekerjaannya dan
tenggelam dalam pekerjaannya.
Robbins menambahkan bahwa karyawan
yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar
peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan. Seseorang yang memiliki Job
Involvement yang tinggi akan melebur dalam pekerjaan yang sedang ia lakukan.
Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi berhubungan dengan Organizational
Citizenship Behavior dan performansi kerja. Sebagai tambahan, tingkat
keterlibatan kerja yang tinggi dapat menurunkan jumlah ketidakhadiran karyawan
(Robbins, 2009: 306).
Hiriyappa (2009) mendefinisikan
keterlibatan kerja (Job Involvement) sebagai tingkat sampai sejauh mana
individu mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaannya, secara aktif
berpartisipasi di dalamnya, dan menganggap performansi yang dilakukannya
penting untuk keberhargaan dirinya. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi akan
menurunkan tingkat ketidakhadiran dan pengunduran diri karyawan dalam suatu
organisasi. Sedangkan tingkat keterlibatan kerja yang rendah akan meningkatkan
ketidakhadiran dan angka pengunduran diri yang lebih tinggi dalam suatu
organisasi.
Patchen (dalam Srivastava, 2005)
menyatakan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement)
yang tinggi akan menunjukkan perasaan solidaritas yang tinggi terhadap
perusahaan dan mempunyai motivasi kerja internal yang tinggi. Individu akan
memiliki keterlibatan kerja yang rendah jika ia memiliki motivasi kerja yang
rendah dan merasa menyesal dengan pekerjaannya. Artinya, individu yang memiliki
keterlibatan kerja yang rendah adalah individu yang memandang pekerjaan sebagai
bagian yang tidak penting dalam hidupnya, memiliki rasa kurang bangga terhadap
perusahaan, dan kurang berpartisipasi dan kurang puas dengan pekerjaannya.
Berdasarkan dari definisi-definisi di
atas maka dapat disimpulkan bahwa keterlibatan kerja (Job Involvement)
merupakan komitmen seorang karyawan terhadap pekerjaannya yang ditandai dengan
karyawan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dalam lingkungan
kerjanya, serta keterlibatan kerja berhubungan langsung dengan Organizational
Citizenship Behavior dalam menentukan kinerja. Dengan adanya perasaan terikat
secara psikologis terhadap pekerjaan yang ia lakukan, maka karyawan akan merasa
bahwa pekerjaanya sangat penting dalam kehidupan kerja dan mempunyai keyakinan
kuat akan kemampuan dalam menyelesaikan masalah.
2. Karakteristik
Job Involvement
Ada beberapa karakteristik dari
karyawan yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) yang tinggi dan
yang rendah (Cohen, 2003), antara lain:
a. Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan
kerja yang tinggi:
- ·
Menghabiskan
waktu untuk bekerja
- ·
Memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dan perusahaan
- ·
Puas
dengan pekerjaannya
- ·
Memiliki
komitmen yang tinggi terhadap karier, profesi, dan organisasi
- ·
Memberikan
usaha-usaha yang terbaik untuk perusahaan
- ·
Tingkat
absen dan intensi turnover rendah
- ·
Memiliki
motivasi yang tinggi
-
b. Karakteristik karyawan yang memiliki
keterlibatan kerja yang rendah:
- ·
Tidak
mau berusaha keras untuk kemajuan perusahaan
- ·
Tidak
peduli dengan pekerjaan maupun perusahaan
- ·
Tidak
puas dengan pekerjaan
- ·
Tidak
memiliki komitmen terhadap pekerjaan maupun perusahaan
- ·
Tingkat
absen dan intensi turnover tinggi
- ·
Memiliki
motivasi kerja yang rendah
- ·
Tingkat
pengunduran diri yang tinggi
- ·
Merasa
kurang bangga dengan pekerjaan dan perusahaan
-
3. Dimensi Job
Involvement
Menurut Lodahl dan Kejner (dalam Cohen,
2003), Job Involvement memiliki dua dimensi, yaitu:
a.
Performance self-esteem contingency
Keterlibatan kerja merefleksikan tingkat
dimana rasa harga diri seseorang dipengaruhi oleh performansi kerjanya. Aspek
ini mencakup tentang seberapa jauh hasil kerja seorang karyawan (performance)
dapat mempengaruhi harga dirinya (self-esteem). Harga diri didefinisikan
sebagai suatu indikasi dari tingkat dimana individu mempercayai dirinya mampu,
cukup, dan berharga (Harris & Hartman, 2002).
b.
Pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total individu
Dimensi ini merujuk pada tingkat
sejauh mana seseorang mengidentifikasikan dirinya secara psikologis pada
pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri totalnya. (Dubin
(dalam Cohen, 2003) mengatakan bahwa orang yang memiliki keterlibatan kerja
(Job Involvement) adalah orang yang menganggap pekerjaan sebagai bagian yang
paling penting dalam hidupnya. Ini berarti bahwa dengan bekerja, ia dapat
mengekspresikan diri dan menganggap bahwa pekerjaan merupakan aktivitas yang
menjadi pusat kehidupannya. Karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang
tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang
mereka lakukan (Robbins, 2009:303).
4. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Job Involvement
Keterlibatan kerja (Job Involvement)
dapat dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu variabel personal dan variabel
situasional.
a.
Variabel personal
Variabel personal yang dapat
mempengaruhi keterlibatan kerja meliputi variabel demografi dan psikologis.
Variabel demografi mencakup usia, pendidikan, jenis kelamin, status pernikahan,
jabatan, dan senioritas.
Moynihan dan Pandey (2007) juga
menemukan bahwa usia memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan
keterlibatan kerja, dimana karyawan yang usianya lebih tua cenderung lebih puas
dan terlibat dengan pekerjaan mereka, sedangkan karyawan yang usianya lebih
muda kurang tertarik dan puas dengan pekerjaan mereka. Hickling (2001) dalam
penelitiannya yang bertujuan untuk mengukur pengaruh variabel demografi dan
status karyawan (part-time atau full-time) menemukan bahwa variabel demografi
dan status karyawan memiliki hubungan dengan keterlibatan kerja. Hasil
penelitian ini mengindikasikan bahwa karyawan
full-time dan part-time berbeda dalam karakteristik demografi, dimana
wanita memiliki tingkat absen yang lebih tinggi daripada pria, yang
mengindikasikan bahwa wanita memiliki keterlibatan kerja yang lebih rendah
dibandingkan dengan pria. ia juga menemukan bahwa karyawan yang bekerja
full-time lebih terlibat dalam pekerjaannya dibandingkan dengan karyawan yang
bekerja part-time. Westhuizen (2008) dalam penelitiannya menambahkan bahwa
variabel-variabel demografi lainnya seperti gaji memiliki hubungan dengan
keterlibatan kerja (Job Involvement).
Sedangkan variabel psikologis
mencakup intrinsic/extrinsic need strength, nilai-nilai kerja, locus of
control, kepuasan terhadap karakteristik/hasil kerja, usaha kerja, performansi
kerja, absensi, dan intensi turnover.
Bazionelos (2004) dalam
penelitiannya mengenai hubungan antara trait kepribadian dengan keterlibatan
kerja pada manajer menemukan bahwa ada hubungan antara trait kepribadian dengan
keterlibatan kerja ditinjau dari teori 5 Faktor, dimana tipe kepribadian extraversion,
openness, agreeableness berhubungan dengan keterlibatan kerja. Ia menemukan
bahwa manajer yang memiliki karakteristik aggreableness yang rendah menunjukkan
keterlibatan kerja yang tinggi. Selain itu, ia juga menemukan bahwa ada
hubungan yang negatif antara extraversion dan openness dengan keterlibatan
kerja.
b.
Variabel situasional
Variabel situasional yang dapat
mempengaruhi keterlibatan kerja mencakup pekerjaan, organisasi, dan lingkungan
sosial budaya. Variabel pekerjaan mencakup karakteristik/hasil kerja, variasi,
otonomi, identitas tugas, feedback, level pekerjaan (status formal dalam
organisasi), level gaji, kondisi pekerjaan (work condition), job security,
supervisi, dan iklim interpersonal. Mehta (dalam Srivastava, 2005) mengatakan
bahwa faktor-faktor seperti otonomi, hubungan pertemanan, perilaku pengawas,
kepercayaan, dan dukungan menuntun pada keterlibatan kerja yang pada gilirannya
meningkatkan produktivitas.
Irawan (2010) dalam penelitiannya
tentang hubungan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan kerja
juga menemukan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara gaya
kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan kerja. Artinya, apabila persepsi
karyawan terhadap gaya kepemimpinan demokratis positif, maka keterlibatan kerja
karyawan tinggi.
Variabel
organisasi mencakup iklim organisasi (partisipatif/mekanistik), ukuran
organisasi (besar/kecil), struktur organisasi (tall/flat), dan sistem kontrol
organisasi (jelas/tidak jelas). Karia dan Asaari (2003) mengatakan bahwa
praktek continuous improvement dan pencegahan terhadap masalah secara
signifikan berkorelasi positif dengan keterlibatan kerja, kepuasan kerja,
kepuasan karier, dan komitmen organisasi.
Hao, Jung, dan Yenhui (2009) dalam
penelitiannya mengenai faktor-faktor penting dari keterlibatan kerja (Job
Involvement) personil layanan finansial menemukan bahwa dukungan sosial dan
hubungan teman sebaya memiliki hubungan langsung yang signifikan dengan
keterlibatan kerja. Mishra dan Shyam (2005) dalam penelitiannya mengenai
hubungan antara tipe-tipe dukungan sosial dengan keterlibatan kerja pada sipir
penjara juga menemukan bahwa ketiga tipe dukungan sosial yang diukur
(appraisal, tangible, dan belonging support) berhubungan positif dengan keterlibatan
kerja. Variabel lingkungan sosial budaya mencakup ukuran komunitas,
rural/urban, budaya etnis, dan agama.
Kaur dan Chadha (dalam Srivastava,
2005) menemukan bahwa bagi pekerja white-collar, stres yang tinggi menuntun
pada keterlibatan kerja yang rendah, sedangkan bagi pekerja blue-collar, stres
yang tinggi menuntun pada keterlibatan kerja yang tinggi.
Ada beberapa penelitian lainnya yang
dilakukan mengenai keterlibatan kerja (Job Involvement). Penelitian mengenai
kepuasan kerja dan keterlibatan kerja menunjukkan hubungan positif antara
keduanya. Makvana (2008) menemukan bahwa karyawan yang memiliki tingkat
keterlibatan kerja yang tinggi menunjukkan tingkat kepuasan kerja yang tinggi.
Brown (dalam Mantler & Murphy, 2005) juga menambahkan bahwa orang-orang
dengan keterlibatan kerja yang tinggi cenderung puas dengan pekerjaannya dan
memiliki komitmen yang tinggi terhadap karier, profesi, dan organisasi mereka.